Paradoks Pajak di Tengah Derita Rakyat

Kader DPC GMNI Kolaka, Sarinah Wilda Cahyani
Kader DPC GMNI Kolaka, Sarinah Wilda Cahyani

Pajak dan Realitas Ekonomi Rakyat

Di tengah situasi ekonomi yang penuh tekanan, isu pajak kembali menjadi sorotan.

Bagi negara, pajak adalah sumber utama pembiayaan pembangunan.

Namun bagi masyarakat, terutama kalangan bawah, pajak sering dipersepsikan sebagai beban yang kian memberatkan.

Pertanyaan yang muncul: apakah pajak hari ini masih menjadi instrumen keadilan sosial, atau justru alat yang menambah penderitaan rakyat?

Pajak hari ini bukan lagi sekadar instrumen negara untuk membangun, melainkan pisau bermata dua yang kerap menoreh perut rakyat.

Di tengah problem ekonomi yang menghimpit, harga kebutuhan pokok naik, upah stagnan, dan lapangan kerja seret.

Rakyat justru dipaksa menyumbang lebih banyak melalui pungutan dan iuran.

Ironisnya, jeritan rakyat itu sering tertutup gegap gempita gedung-gedung megah dan angka-angka statistik pertumbuhan yang dingin.

Kontrak Sosial yang Retak

Paradoks Pajak di Tengah Derita Rakyat

Pajak sejatinya adalah kontrak sosial. Rakyat rela menyetor sebagian hasil jerih payahnya demi kesejahteraan bersama.

Namun, ketika pajak hanya terasa sebagai beban sementara fasilitas publik, pendidikan, dan kesehatan masih jauh dari kata layak, kontrak itu berubah menjadi luka.

Rakyat membayar, tapi tak merasakan hadirnya negara di dapur mereka, di sekolah anak-anak mereka, ataupun di rumah sakit tempat mereka berobat.

Inilah kontradiksi yang membuat kepercayaan publik terhadap pajak melemah.

Paradoks Pembangunan dan Beban Pajak

Paradoks semakin terasa menyakitkan. Pajak dinaikkan, iuran diperas, tetapi keluhan rakyat dianggap sekadar derau di tengah rapat-rapat elite.

Negara seolah lupa bahwa setiap angka di laporan penerimaan pajak sesungguhnya adalah keringat, air mata, bahkan darah rakyat kecil.

Beban pajak yang terus meningkat tidak diimbangi dengan pelayanan publik yang lebih baik.

Akibatnya, masyarakat menilai pajak hanya menambah penderitaan, bukan menghadirkan kesejahteraan.

Reformasi Pajak untuk Keadilan Sosial

Suara rakyat yang menjerit akibat problem ekonomi hari ini bukan sekadar keluhan, melainkan alarm keras.

Negara harus kembali pada esensi pajak sebagai jembatan kesejahteraan, bukan palu yang memukul kepala mereka yang paling lemah.

Jika pemerintah ingin membangun kepercayaan publik, reformasi pajak harus menyentuh substansi.

Transparansi penggunaan dana, peningkatan kualitas pelayanan publik, dan keberpihakan pada kelompok rentan menjadi kunci.

Mengembalikan Makna Pajak bagi Rakyat

Ke depan, suara rakyat perlu didengar sebagai pengingat bahwa pembangunan bukan hanya soal gedung tinggi dan angka pertumbuhan ekonomi.

Pembangunan sejati adalah ketika rakyat merasakan hadirnya negara dalam kehidupan sehari-hari.

Di situlah pajak menemukan kembali makna aslinya: sebagai kontrak sosial yang adil, alat untuk mewujudkan kesejahteraan, dan simbol gotong royong demi keadilan sosial.***

Penulis: Kader DPC GMNI Kolaka, Sarinah Wilda Cahyani