Sungkeman Sebagai Simbol Rasa Hormat Bagi Orang Jawa

Sungkeman Sebagai Simbol Rasa Hormat Bagi Orang Jawa
Sungkeman Sebagai Simbol Rasa Hormat Bagi Orang Jawa

NETRA WARGA – Di tengah perkembangan zaman yang semakin modern, ada satu tradisi yang masih melekat kuat dalam budaya masyarakat Jawa, khususnya saat momen-momen penting seperti Lebaran, pernikahan, atau acara adat lainnya.

Tradisi itu dikenal dengan nama sungkeman. Lebih dari sekadar ritual, sungkeman adalah wujud penghormatan tulus yang mengikat hubungan antargenerasi, menjaga nilai-nilai luhur, sekaligus menjadi simbol kerendahan hati.

Sungkeman biasanya dilakukan oleh anak kepada orang tua, atau seorang yang lebih muda kepada yang lebih tua, dengan posisi berlutut, menundukkan badan, dan mencium tangan atau lutut orang yang dihormati.

Dalam momen ini, ucapan permohonan maaf dan doa restu menjadi inti dari prosesi.

Sestur tubuh yang rendah ini bukan sekadar simbol, tetapi menggambarkan rasa hormat yang mendalam dan pengakuan atas jasa serta pengorbanan orang yang kita sungkemi.

Asal Usul dan Sejarah Sungkeman

Secara historis, tradisi sungkeman berakar dari budaya Jawa yang menempatkan tata krama, sopan santun, dan penghormatan sebagai pondasi kehidupan bermasyarakat.

Kata “sungkeman” sendiri berasal dari kata dasar “sungkem” yang berarti bersujud atau membungkuk sebagai tanda hormat.

Dalam konteks adat, sungkeman tidak hanya dilakukan saat Lebaran, tetapi juga dalam upacara pernikahan di mana kedua mempelai sungkem kepada orang tua sebagai tanda bakti dan permohonan restu untuk mengarungi rumah tangga.

Sumber sejarah mencatat bahwa tradisi ini telah ada sejak era kerajaan di tanah Jawa.

Sungkeman dilakukan para abdi atau rakyat kepada raja dan bangsawan sebagai bentuk penghormatan.

Seiring waktu, makna sungkeman bergeser menjadi tradisi keluarga yang lebih intim dan penuh emosional.

Makna Filosofis Sungkeman

Sungkeman bukan sekadar gerakan fisik. Ia mengandung pesan moral dan spiritual yang dalam.

Posisi berlutut melambangkan kerendahan hati, sedangkan menundukkan kepala menggambarkan pengakuan akan kebesaran jasa orang tua atau pihak yang dihormati.

Kontak fisik, seperti mencium tangan, menjadi simbol penerimaan restu dan kasih sayang.

Tradisi ini juga mengajarkan nilai keikhlasan dalam meminta maaf dan memaafkan.

Di tengah kesibukan hidup, sungkeman menjadi momen refleksi, pengingat bahwa setiap manusia memiliki keterbatasan, dan hubungan antarindividu harus dijaga dengan saling menghormati.

Sungkeman di Era Modern

Meski zaman berubah, sungkeman masih dilakukan, meski bentuknya mulai beradaptasi.

Beberapa keluarga kini melakukannya dengan duduk bersila atau sekadar membungkuk, terutama jika kondisi fisik orang tua tidak memungkinkan. Namun, esensi penghormatan tetap sama.

Di era digital, banyak momen sungkeman yang dibagikan di media sosial, menjadi pengingat publik akan pentingnya menjaga budaya.

Bahkan, beberapa komunitas budaya menggelar acara edukasi untuk memperkenalkan sungkeman kepada generasi muda, agar tradisi ini tidak punah.

Pentingnya Melestarikan Sungkeman

Melestarikan sungkeman berarti menjaga akar budaya dan identitas.

Tradisi ini tidak hanya menguatkan hubungan keluarga, tetapi juga memperkuat rasa kebersamaan dalam masyarakat.

Di tengah arus globalisasi yang sering mengikis nilai-nilai lokal, sungkeman menjadi salah satu benteng terakhir yang menjaga rasa hormat dan kesadaran akan peran orang tua.

Jika generasi muda mau mempraktikkannya, sungkeman akan terus hidup, tidak hanya sebagai ritual Lebaran atau pernikahan, tetapi juga sebagai budaya sehari-hari dalam menunjukkan rasa terima kasih dan penghormatan. (Lia)