Ruwatan sebagai Ritual Tolak Bala dan Menjaga Keseimbangan Hidup

Ruwatan Ritual Tolak Bala dari Tradisi Jawa
Ruwatan Ritual Tolak Bala dari Tradisi Jawa

Ruwatan Ritual Tolak Bala

Di tengah perubahan zaman yang serba cepat, ada satu tradisi Jawa yang masih bertahan hingga kini — ruwatan.

Bagi sebagian masyarakat, ruwatan bukan sekadar upacara adat.

Melainkan sebuah jalan spiritual untuk membuang bala atau kesialan yang diyakini melekat pada diri seseorang.

Tradisi ini menyimpan makna mendalam tentang keseimbangan hidup, hubungan manusia dengan alam semesta, dan doa yang tak lekang oleh waktu.

Siapa yang Disebut Sukerta

Ruwatan biasanya dilakukan untuk orang-orang yang disebut sukerta, yakni mereka yang menurut kepercayaan Jawa berpotensi mengalami kesialan.

Sukerta bisa berarti anak tunggal, anak kembar, anak yang lahir pada waktu tertentu, hingga orang yang mengalami peristiwa dianggap kurang baik.

Melalui ruwatan, mereka diyakini dapat terbebas dari pengaruh buruk yang bisa mengganggu jalan hidupnya.

Prosesi Ruwatan dan Pertunjukan Wayang

Prosesi ruwatan tidak sederhana. Acara ini biasanya dipimpin oleh seorang dalang atau sesepuh yang memahami tata cara ritual.

Lakon wayang khusus, seperti Murwakala, dipentaskan sebagai bagian dari prosesi.

Wayang ini mengisahkan tentang Batara Kala yang diyakini bisa menelan kesialan manusia.

Pertunjukan wayang ruwatan tidak sekadar hiburan, melainkan sarana spiritual yang menyatukan doa, simbol, dan harapan.

Selain wayang, ritual ruwatan sering dilengkapi dengan siraman atau mandi kembang sebagai simbol penyucian diri.

Rambut atau kuku sukerta bisa dipotong sebagai tanda lahirnya kehidupan baru yang lebih bersih.

Sesajen berupa tumpeng, ingkung ayam, dan jajanan pasar dihadirkan sebagai wujud syukur sekaligus persembahan kepada Sang Pencipta.

Semua itu dilakukan dengan penuh khidmat, diiringi doa bersama dari keluarga dan warga sekitar.

Makna Spiritual dan Filosofi

Makna ruwatan terletak pada upaya menjaga harmoni.

Dalam tradisi Jawa, kehidupan manusia tidak pernah lepas dari keseimbangan antara lahir dan batin, dunia nyata dan dunia gaib, manusia dan alam.

Ruwatan menjadi sarana untuk mengingatkan bahwa hidup bukan hanya soal materi.

Melainkan juga tentang bagaimana menjaga diri dari hal-hal yang tak terlihat, dengan doa dan laku spiritual.

Di beberapa daerah, ruwatan bahkan dijadikan acara besar yang melibatkan banyak orang.

Misalnya ruwatan massal yang digelar pemerintah daerah atau komunitas budaya.

Dalam acara semacam ini, anak-anak sukerta dari berbagai keluarga diruwat bersama dengan lakon wayang dan doa.

Tradisi ini sekaligus menjadi sarana pelestarian budaya yang mampu mempertemukan generasi tua dan muda dalam satu panggung kebersamaan.

Ruwatan di Era Modern

Meski ada pandangan yang menganggap ruwatan sebagai sesuatu yang mistis, banyak budayawan menekankan sisi kulturalnya.

Ruwatan adalah warisan leluhur yang menyimpan pesan moral: manusia harus selalu mawas diri, membersihkan hati, dan memohon perlindungan kepada Tuhan.

Di sinilah nilai luhur tradisi ini tetap relevan meski zaman telah berubah.

Di era modern, ruwatan tidak lagi sekadar ritual untuk menolak bala.

Ia telah menjadi simbol perlawanan terhadap lupa, simbol bagaimana masyarakat Jawa menjaga jejak budaya leluhurnya.

Tradisi ini menjadi pengingat bahwa setiap manusia, seberapa pun modern kehidupannya, tetap membutuhkan ruang untuk membersihkan diri, baik secara lahir maupun batin. (Lia)