NETRA WARGA – Di sebuah wilayah pegunungan yang udaranya sejuk dan jalannya berliku, ada dua primadona yang tumbuh subur, durian yang legitnya bikin orang jatuh cinta pada gigitan pertama dan cengkeh yang diam-diam jadi incaran industri minyak atsiri kelas dunia.
Keduanya sama-sama harum, sama-sama bikin orang rela menunggu musimnya, tapi nasib mereka di dunia ekspor ibarat siang dan malam.
Durian Si Seleb Kampung
Durian di sini ibarat bintang film terkenal di kampungnya—disanjung, difoto, diunggah ke media sosial—tapi belum pernah menjejakkan kaki di luar negeri.
Padahal produksinya gila-gilaan, dari 40 ribu kuintal lebih di tahun 2023, melonjak jadi 88 ribu kuintal pada 2024.
Kalau durian ini manusia, mungkin dia sudah kebanjiran tawaran endorsement.
Tapi di mata perdagangan internasional, durian masih dianggap “anak kos” yang belum punya paspor.
Cengkeh Si Tukang Cari Jalur Khusus
Cengkeh punya cerita lain. Produksinya memang tak segedhe durian, tapi ia punya akses langsung ke jalur VVIP, minyak atsiri.
Komoditas ini aromanya bukan cuma harum, tapi juga harum di mata devisa negara.
Di tahun-tahun tertentu, minyak atsiri dari daerah ini menyumbang lebih dari separuh total ekspor nonmigas.
Bayangkan, setengah pundi-pundi ekspor daerah dihasilkan dari cairan beraroma segar yang dihasilkan dari daun, kulit, dan bunga tanaman.
Dipinang: Mas, Kerjanya Apa?
Tak heran, cengkeh mulai dilirik pasar luar negeri. Pernah ada orang dari negeri tetangga yang ingin memborong, tapi niat baik itu langsung diparkir di pintu masuk.
Kata pejabat setempat, semua harus hati-hati, dicek dulu rekam jejaknya, siapa tahu ternyata calon pembeli itu cuma pedagang keliling yang pandai menghilang setelah DP.
Dunia perdagangan itu mirip dunia asmara, manis di awal belum tentu setia di akhir.
Durian sebenarnya punya peluang kalau mau menempuh jalur yang sama.
Masalahnya, durian adalah komoditas yang manja. Ia tak tahan perjalanan panjang, apalagi kalau harus menempuh penerbangan internasional.
Belum lagi, baunya yang khas kadang bikin regulasi bea cukai jadi agak sensitif.
Di beberapa negara, durian bahkan dilarang masuk transportasi umum, apalagi kabin pesawat.
Bayangkan, durian harus memohon visa tapi pas wawancara ditanya, “Kamu bawa aroma apa ini?”
Sementara itu, cengkeh tak banyak drama. Ia bisa diolah, dikeringkan, disuling, lalu dikemas rapi.
Tidak cerewet soal suhu, tidak menuntut pendingin khusus, dan yang terpenting, tak bikin penumpang sebelah pusing tujuh keliling.
Warlok Gak Menye-menye Kayak Tetangga
Warga lokal sebenarnya tidak terlalu ambil pusing soal ekspor atau tidak.
Selama durian melimpah setiap musim, mereka bisa makan puas tanpa harus bersaing dengan pasar luar negeri.
Bahkan ada yang bilang, kalau durian sampai diekspor, jangan-jangan harganya melambung dan rakyat malah cuma bisa mencium aromanya dari jauh.
Tapi dari sisi pemerintah, peluang ekspor adalah cara untuk menaikkan taraf ekonomi petani.
Cengkeh jelas diuntungkan di sini. Selain untuk minyak atsiri, cengkeh juga punya nilai jual stabil di pasar dalam negeri.
Petani cengkeh sudah terbiasa dengan sistem jemur, timbang, lalu jual ke pengepul, dan dari sana sebagian bisa mengalir ke industri besar yang berorientasi ekspor.
Durian? Ya, masih harus banyak latihan. Mulai dari pengemasan, manajemen distribusi, sampai promosi di pasar global.
Mungkin suatu saat, durian ini akan jadi “influencer” buah yang tampil di pameran internasional, difoto bareng chef terkenal, dan masuk menu hotel berbintang di Singapura atau Tokyo.
Tapi untuk saat ini, ia masih setia menemani warga di beranda rumah, ditemani secangkir kopi atau teh manis.
Pada akhirnya, kedua primadona ini tetap istimewa dengan jalannya masing-masing.
Cengkeh mungkin akan lebih dulu menginjakkan kaki di negeri orang, sementara durian tetap jadi raja lokal yang disambut bak selebritas setiap musim panen.
Dan siapa tahu, di masa depan, keduanya akan sama-sama punya paspor, lalu berangkat bareng menaklukkan dunia. (Lia)









