Dibuang Sayang, Dari Tumpukan Sampah ke Listrik Tegangan Tinggi

Dari Tumpukan Sampah ke Listrik Tegangan Tinggi
Dari Tumpukan Sampah ke Listrik Tegangan Tinggi

NETRA WARGA – Kabar baik datang dari negeri yang suka rapat sebelum rapat.

Ada rencana membangun sebuah mesin ajaib yang konon bisa mengubah 150 ton sampah menjadi listrik setiap hari.

Bukan listrik buat ngecas ponsel doang, tapi sampai 35 megawatt.

Katanya sih cukup buat menerangi ribuan rumah—atau minimal cukup untuk menyalakan seluruh lampu taman kota yang entah kenapa selalu nyala siang bolong.

Sampah Bak Anak Sultan

Lahan untuk proyek ini sudah siap, hampir 10 hektare luasnya, dan yang paling penting: tanahnya punya pemerintah.

Artinya, tak perlu khawatir ada drama “warisan siapa ini?” atau “mana sertifikatnya?” yang biasanya bikin proyek mangkrak.

Lahan ini bahkan jauh dari pemukiman, jadi warga tidak perlu tidur sambil menghirup aroma “esensial oil organik” dari tumpukan sampah.

Sebelum ini, ada ide membangun di tempat pembuangan lama.

Tapi dibatalkan, soalnya tanahnya punya pihak lain dan penuh aturan.

Lagipula, siapa yang mau mengandalkan masa depan energi negeri ini di lahan yang bisa sewaktu-waktu diminta balik?

Punya Gunungan Sampah

Bahan bakunya? Jangan khawatir. Wilayah ini memproduksi 300 ton sampah sehari.

Jadi, stoknya lebih aman daripada stok Indomie di warung.

Tapi, ada satu masalah, ongkos angkut. Mengangkut sampah dari pegunungan ke lokasi mesin bisa saja lebih mahal daripada harga tiket konser internasional. Jadi perlu kajian dulu.

Teknologinya sendiri katanya super canggih. Amerika dan Eropa sudah pakai, tapi ini pertama kali masuk ke negeri ini.

Bahkan investor bilang proses izinnya di sini cepat dan ramah.

Sebuah kalimat langka, setara dengan “tolong, ini uang kembalian Anda” di minimarket.

Mesin Pengusir Sampah Red Flag

Mesin ini bisa menelan semua jenis sampah, bahkan jerami.

Kecuali limbah beracun, itu belum masuk daftar menu.

Ada juga orang yang jadi penghubung antara investor dan pemerintah, dengan semangat “membangun kampung halaman” yang membuatnya terdengar seperti karakter di film perjuangan.

Pemerintah daerah dan dewan setempat tampak sumringah.

Bukan tanpa alasan: masalah sampah sudah seperti mantan toxic—sulit diputuskan hubungannya.

Beberapa tahun lalu, tempat pembuangan lama sudah direnovasi mahal-mahal.

Sekarang, dengan visi “net zero carbon”, harapannya mesin ini bukan cuma mengurangi sampah, tapi juga mengurangi drama anggaran.

Dari segi tenaga kerja, sebagian posisi bisa diisi warga lokal, tapi tidak semuanya.

Katanya teknologinya terlalu canggih. Untungnya, ada janji “transfer ilmu”.

Jadi, mudah-mudahan, 30 tahun ke depan warga setempat bisa mengoperasikan mesin ini, bukan cuma jadi penonton sambil jualan gorengan di depan gerbang.

Bak Dipulangkan ke Orang Tua

Dari sisi cuan, pemerintah akan dapat sewa lahan tiap 10 tahun, dan setelah lima tahun, punya 5 persen saham.

Setelah 30 tahun, mesin beserta semua isinya akan jadi milik pemerintah.

Ibaratnya, kita minjemin kos-kosan ke orang, lalu setelah tiga dekade dikembalikan lengkap dengan kulkas, TV, dan dispenser.

Semua terdengar indah. Tapi, rakyat sudah kenyang cerita “proyek impian” yang ujung-ujungnya lebih banyak memakan dana daripada memakan sampah.

Jangan sampai mesin ini hanya jadi monumen megah yang dinyalakan pas peresmian, lalu mati pelan-pelan karena “kendala teknis”.

Kalau berhasil, ini bisa jadi bukti bahwa sampah punya masa depan lebih cerah daripada banyak rencana pembangunan lain.

Tapi kalau gagal, ya, kita akan punya 10 hektare lahan baru untuk menimbun harapan—dan mungkin, buat lokasi selfie bertema “sampah modern”. (Lia)