Beras Ghosting Rak Toko dengan Segudang Janji Manis

Beras Ghosting Rak Toko dengan Segudang Janji Manis
Beras Ghosting Rak Toko dengan Segudang Janji Manis

NETRA WARGA – Pagi itu, suasana pasar tradisional terasa janggal.

Biasanya, barisan karung beras membentuk benteng putih yang memantulkan cahaya matahari pagi.

Tapi kali ini, banyak kios yang menutup lebih cepat dari biasanya, bahkan sebelum jarum jam menunjuk pukul 10.

Pembeli datang silih berganti, tapi pedagang hanya bisa menggeleng. “Stok beras habis, Bu,” katanya pelan.

Buruk Pun Jual Mahal

Di sudut pasar, ada satu kios yang masih buka. Di depannya, tumpukan kecil beras berwarna kekuningan menjadi satu-satunya pilihan.

Harganya Rp 12.000 per kilogram, termurah di pasar itu.

Tapi ini bukan beras pilihan rumah tangga. Para pedagang bilang, ini cocoknya untuk nasi goreng atau usaha kuliner.

Untuk beras berkualitas yang biasa dimasak di rumah, harga sudah melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET).

Di luar pasar tradisional, kelangkaan beras juga terasa di ritel modern. Rak beras yang biasanya penuh, kini kosong.

Beberapa bahkan sudah diganti menjadi rak minuman kemasan.

Katanya Nemenin, Nyatanya Ninggalin

Pemandangan ini membuat banyak pembeli terheran-heran—apalagi jika mengingat kabar bahwa stok beras nasional justru sedang surplus.

Data resmi menyebut, stok beras per pertengahan tahun mencapai 3,6 juta ton.

Sekitar 2,7 juta ton tersimpan di gudang besar, sisanya sekitar 900 ribu ton tersebar di lebih dari seratus ribu penggilingan dan pelaku usaha lain.

Secara matematis, tidak ada alasan terjadi kelangkaan beras.

Namun, di lapangan, aliran stok ini tidak semulus yang dibayangkan.

Di tingkat petani, harga gabah kering panen kini berada di kisaran Rp 7.500–Rp 8.200 per kilogram.

Kenaikan ini wajar setelah panen raya berakhir. Tapi jika tren harga tinggi bertahan hingga awal tahun depan, harga beras di pasar bisa semakin sulit dijangkau.

Beras Ikut Tren Kabur Aja Dulu?

Fenomena ini membuat banyak orang bertanya-tanya: bagaimana mungkin negara dengan surplus beras justru menghadapi rak kosong di pasar tradisional dan ritel modern?

Ada yang mengibaratkannya seperti pesta besar yang digelar di ruangan tertutup—makanannya melimpah, tapi para tamu di depan pintu hanya bisa mencium aromanya tanpa menyentuhnya.

Bagi pembeli di pasar, semua analisis dan data itu terasa jauh.

Yang nyata adalah piring nasi di rumah mulai menyusut porsinya, atau dompet yang menipis lebih cepat dari biasanya.

Mereka hanya berharap, jalur distribusi beras kembali lancar, harga turun, dan rak di pasar tradisional maupun ritel modern kembali penuh.

Untuk sementara, beras kuning di pojok pasar tetap menjadi penyelamat.

Tidak sempurna, tapi cukup untuk mengenyangkan. Sementara itu, cerita tentang kelangkaan beras terus bergulir—dari obrolan warung kopi hingga media sosial—mengingatkan bahwa kadang persoalan pangan bukan hanya soal jumlah, tapi juga soal bagaimana stok itu sampai ke tangan rakyat. (Lia)