Jalan Baru Lubang Lama Jadi Komedi Infrastruktur Konoha

Jalan Baru Lubang Lama Jadi Komedi Infrastruktur Konoha
Jalan Baru Lubang Lama Jadi Komedi Infrastruktur Konoha

NETRA WARGA – Ada satu hal yang selalu konsisten dari pembangunan jalan di negeri ini: aromanya mirip sate bakar.

Baru saja digelar dengan meriah, ditaburi seremonial potong pita, dan disuguhi janji manis, tahu-tahu permukaan jalan sudah berlubang.

Seakan-akan aspal itu terbuat dari biskuit lempeng yang lupa dimasukkan ke oven.

Warga awalnya bersorak gembira, mengira jalan mulus akan menjadi solusi kemacetan dan ban yang sering bocor.

Tapi tawa itu hanya bertahan seumur jagung. Belum genap hitungan bulan, roda kendaraan kembali terguncang, sopir kembali mengelus dada, dan bengkel tambal ban kembali panen rezeki.

Ironisnya, seakan-akan memang itulah skenario utama: proyek jalan dibangun untuk memastikan bengkel tak pernah sepi pelanggan.

Jalan Lubang yang Lebih Setia dari Janji

Lubang di jalan ternyata lebih setia daripada janji manis pejabat saat peresmian.

Begitu muncul sekali, dia enggan pergi. Ditambal, muncul lagi. Diberi peringatan, makin melebar.

Bahkan, beberapa lubang sudah seperti sahabat lama bagi pengendara: tak perlu lagi GPS, cukup ingat di mana roda pernah nyangkut semalam.

Lucunya, setiap kali ada protes, selalu muncul jawaban klasik: “Nanti segera diperbaiki”.

Kata “nanti” itu ternyata punya definisi unik—kadang berarti minggu depan, kadang berarti tahun depan, kadang bahkan berarti tunggu proyek baru lagi.

Sementara itu, lubang tetap bekerja lembur, siang malam mengguncang kendaraan.

Jalan Baru, Rezeki Lama

Fenomena ini juga membawa berkah. Tukang tambal ban jadi tokoh paling dicari di jalan raya. Bengkel kecil berubah jadi pusat ekonomi rakyat.

Dari ban bocor, velg peyang, hingga shockbreaker patah, semua kembali jadi ladang rezeki.

Ada yang bilang, “Kalau jalan mulus terus, nanti ekonomi rakyat kecil mati”.

Mungkin inilah versi lokal dari teori trickle-down economy—dari lubang di jalan, rezeki menetes ke bawah.

Tak hanya tukang tambal ban, pedagang kopi pinggir jalan juga ikut senyum-senyum.

Warga yang terjebak macet di sekitar jalan rusak akhirnya menyeruput kopi lebih lama.

Sungguh, pembangunan jalan ini sepertinya memang paket lengkap: selain infrastruktur, juga stimulus ekonomi.

Drama yang Tak Pernah Tamat

Lucu sekaligus sedih, bahwa kisah ini seakan diputar ulang setiap tahun. Jalan baru, lubang lama.

Pita merah dipotong, foto bersama disebarkan, tetapi tak ada yang bertanya: “Aspalnya tahan berapa musim hujan?” Warga pun sudah hafal alurnya.

Seperti menonton sinetron panjang, kita tahu akan ada adegan tangis, marah, protes, lalu janji manis, sebelum akhirnya kembali ke titik semula.

Dan begitulah seterusnya, sampai-sampai warga hanya bisa menertawakan nasib.

Kalau sudah begini, humor menjadi cara paling ampuh bertahan. Karena apa gunanya marah, kalau akhirnya yang datang justru “jalan baru dengan lubang lama”? (Lia)