NETRA WARGA – Di sebuah kota kecil, para Juru Kunci yang setia merawat situs sejarah kini malah sibuk mengunci perut mereka sendiri.
Sudah delapan bulan, para Juru Kunci yang menjaga makam dan situs budaya itu tak menerima insentif sepeser pun.
Ironis, Juru Kunci dipercaya menjaga pusaka leluhur, tapi pintu insentif mereka justru digembok rapat oleh aturan. Kunci di tangan, gembok di perut.
Juru Kunci yang Lupa Dikunci Haknya
Sejak awal 2025, insentif para Juru Kunci berhenti cair. Padahal nilainya tak besar, hanya Rp500 ribu sebulan setelah dipotong pajak.
Namun, bagi mereka, itu penopang hidup. Bagi pejabat, mungkin hanya seharga dua kali parkir mobil di mal kota.
Alasannya sederhana tapi menyebalkan: ada aturan baru soal tenaga honorer.
Meski para Juru Kunci bukan honorer, tetap saja aturan itu jadi dalih untuk menahan hak.
Pejabat berdalih, “Kami masih menunggu kajian hukum.”
Bahasa rakyatnya: “Sabar, nanti kalau aturan sudah jinak, duit turun sendiri.” Sayangnya, sabar tidak bisa dimasak jadi sayur lodeh.
Aturan Lebih Sakti dari Kunci Pusaka
Dulu, Juru Kunci dipercaya memegang kunci dunia spiritual.
Kini, mereka justru terkunci oleh kekuatan aturan birokrasi.
Pejabat takut salah langkah, takut uang keluar tanpa dasar hukum.
Padahal, salah langkah paling nyata sudah terjadi: Juru Kunci yang menjaga pusaka justru terpaksa berutang di warung demi sekilo beras.
Kalau situs leluhur butuh penjaga, maka penjaga pun butuh kepastian.
Juru Kunci, Perut, dan Pintu Terkunci
Delapan bulan tanpa insentif berarti Rp4 juta hilang begitu saja.
Untuk pejabat, angka itu mungkin sekadar biaya rapat sehari.
Tapi bagi Juru Kunci, itu perbedaan antara dapur berasap dan dapur sepi.
Warga pun mulai berseloroh di warung kopi: “Lebih baik mereka jadi Juru Kunci Anggaran, biar uang tidak nyasar ke tempat lain.”
Semua tertawa, tapi tawa itu getir. Karena mereka tahu, kunci yang benar-benar dicari para penjaga situs hanyalah kunci jawaban kapan hak mereka turun.
Apresiasi yang Terjebak di Meja Rapat
Pejabat selalu pandai berkata, “Kami berkomitmen mencari solusi.”
Kata “komitmen” terdengar gagah, tapi di telinga Juru Kunci hanya seperti mantra kosong.
Di lapangan, penghargaan yang katanya besar itu justru terhenti di meja rapat.
Seolah-olah birokrasi lebih sibuk menjaga aturan daripada menjaga manusia yang menjaga sejarah.
Kalau pusaka leluhur bisa berbisik, mungkin sudah lama ia menegur: “Hei, yang dijaga bukan cuma aku, tapi juga dia yang membersihkan makamku setiap hari.”
Juru Kunci di Era Media Sosial
Kabar soal Juru Kunci tanpa insentif ini pun menyebar ke media sosial.
Warga ramai menyindir. Ada yang menulis, “Kalau situs bisa menjaga diri, juru kunci memang tak perlu dikasih insentif.”
Ada juga yang lebih tajam: “Kalau aturan bikin rakyat lapar, sebaiknya aturan itu dimakamkan saja di situs sejarah. Biar Juru Kunci sekalian yang merawat.”
Gembok Waktu, Kunci Harapan
Hingga kini, para Juru Kunci masih setia di tugasnya. Membersihkan situs, menyalakan dupa, merawat pusaka.
Mereka tetap berdiri tegak, meski hak mereka terkunci di laci birokrasi.
Entah kapan gembok itu dibuka. Mungkin setelah aturan selesai dikaji, mungkin setelah rapat berulang kali. Atau mungkin setelah rakyat bosan bertanya.
Yang jelas, para Juru Kunci tak pernah meninggalkan pusaka.
Mereka percaya, seperti mereka menjaga kunci leluhur, suatu saat akan ada yang membuka pintu kesejahteraan mereka.
Walau untuk sekarang, satu-satunya pusaka yang nyata hanyalah kesabaran. (Lia)







